�Kuminta kau kelak tidak terlalu bersungguh-sungguh memberi hatimu pada perempuan,� Tutur Karman pada bocah lelakinya yang bahkan tidak mengerti maksud kalimat bapaknya itu.
Karman lelaki yang harus hidup dalam lipatan kaki perempuannya. Sedikit lebih terhormat ketika ia terkadang bisa menempati ketiak istrinya. Dengan begitu, ia tidak terlalu disibukkan untuk menghirup aroma bagian belakang perempuannya. Ia tidak mau menyebut istri untuk perempuan yang sudah dinikahi selama 30 tahun olehnya.
Iya, Karman melihat dirinya sebagai bulu saja. Bulu yang harus tumbuh cuma di sela-sela tubuh yang jarang terlihat orang-orang. Di kota kecilnya itu, perempuan yang enggan disebut sebagai istrinya itu lebih banyak dikenal daripada dirinya. Setiap ia merasa tidak tahan, karena merasa rendah diri, Bakri, bocah kecil satu-satunya yang berusia 8 tahun itu menjadi tempatnya berbagi, bercerita. Tidak terlalu ia pusingkan, entah anaknya itu akan mengerti atau tidak. Setidaknya aku sudah bercerita.
�Pak, besok aku sekolah, tapi bajuku belum dicuci!� keluh Bakri pada suatu sore di akhir pekan.
Karman menoleh sesaat pada istrinya, tidak berkata apa-apa. Sebab, mulut istrinya sudah lebih dulu terbuka. �Kau kira aku babu bapakmu itu?!?�
Gontai. Karman memilih untuk mencari pakaian sekolah anaknya. Mencucinya. Berharap besok pagi sudah kering dan bisa ia setrika.
*****
�Lelaki tidak becus! Kau lebih dulu yang pulang, kenapa bukan kau yang masak saja dulu? Memang harus aku lebih dulu? Punya lelaki goblok begini!�
Digoblok-gobloki. Karman menguatkan tudingan istrinya dengan serentetan tindakan yang mendukung tudingan itu. Tidak bicara apa-apa. Tidak mengatakan apa pun, setidaknya tentang bahasa yang pantas dan tidak pantas diucapkan di depan seorang suami.
Tunggu dulu. Bukan berarti Karman menerima semua itu dengan lapang dada. Justru, ia merutuk dalam hati,�Aku ingin menikahi perempuan, kenapa Tuhan berikanku seorang iblis betina?�
Badannya tinggi besar, padahal. Sayang sekali, hatinya lebih sering mengecil dan menciut setiap melihat mata nyalang istrinya.
Terkadang ketika malam, ia merasakan kegundahan setiap hajatnya sebagai lelaki menghentak-hentak pikirannya. Ingin menggumuli istrinya. Memadu keringat. Tapi, tanpa isyarat bahwa istrinya juga inginkan itu, ia tidak bisa berharap bisa berada di atas tubuh perempuannya. Mungkin ini yang disebut sebagai lelaki malang?
Jangan tanya berapa sering ia menjadi bahan gunjingan istrinya sendiri. Disebut sebagai lelaki lemah. Tidak berdaya dan tidak bisa apa-apa. Memang istrinya bergaji lebih besar daripada dirinya. Sepertinya ini yang juga menjadi salah satu penyebab ia ciut di depan istrinya. Namun, ini juga tidak pernah diakuinya.
*****
Seharusnya, jelang senja bisa lebih bijak dan lebih teduh. Seperti langit menjemput senja, kian teduh. Tidak demikian halnya dengan Karman. Air liur dari mulut istrinya, sampai usia sudah demikian senja kerap menyinggahi mukanya yang mulai mengerut. Tidak sekencang puluhan tahun lalu.
Pagi-pagi sekali, Karman baru saja membuka mata. Istrinya sudah memulai pagi dengan makian-makian. Nama ibu Karman yang sudah lama mati ikut disebut perempuannya yang sudah tidak lagi cantik,
�Jalang mana yang sudah lahirkan lelaki itu? Mengurus rumah saja tidak becus!�
Sebuah vas bunga setinggi lutut berada tidak jauh dari pintu kamar. Dengan sigap sudah berada di tangan Karman. Terayun ke kepala Sutini, nama istri yang juga teramat jarang disebut-sebutnya.
�Deughhh!�
Omelan Sutini terhenti pagi itu. Sedang sorenya, Karman tersenyum lega.
Meski harus berada di balik penjara.
�Aku sudah membantu Tuhan, agar perempuanku tidak terlalu lelah bicara!�
Seringainya dengan wajah menang. Bakri, harus hidup sebagai bocah yang berubah menjadi jembatan kecil tanpa penyangga! Oleh Zulfikar Akbar
Posting Komentar